Search This Blog

Tidaaak... 0-1!!!

>> 2.23.2008

Pertandingan antara SMAN-1 Sampit dengan SMAN-1 Samuda ternyata berlangsung dengan sangat amat seru! sayangnya....Hiks! Hiks! Dari sekolah sendiri dan daerah sendiri ternyata kalah.. hu….
Padahal banyak banget lo peluang terbuka bagi SMANSASA(SMANSA SAMPIT), terlebih lagi dengan pelanggaran yang dilancarkan tim SMANSADA memberi peluang lebar-lebar untuk menyarangkan gol.
Offside nya dari SMANSA berapa kali ya? Gak ketulungan!
Kalau dihitung-hitung rasanya ada 3 kesempatan emas yang sayangnya dirusak (cieh..) oleh SMANSASA, duh......
Gak apa-apa lah.. yang penting dapat juara juga, juara dua! Hehehe...
Image Hosted by ImageShack.us
Tim SMANSASA yang merah putih

Read more...

Misteri Pencurian Sendal

>> 2.02.2008

Cahaya temaram bertaut rintik hujan masih menutupi langit. Bunyi srak-srak dari motor yang lewat menebarkan semburat air. Fajar sontak mengomel dan membentak pengendaranya, sayang sudah kelewat jauh.
Siswa-siswi SMA berbondong-bondong pulang. Hari sudah siang, namun matahari masih malu-malu. Jarak rumah Fajar dan sekolah sebenarnya tidak begitu jauh, hanya dua ratus meter. Beberapa menit berjalan kaki juga sampai, namun terpaan hujan yang memasuki ronde tiga puluh ini sedari tadi masih kokoh. Walhasil Fajar pulang terlambat enam puluh menit dari waktu yang dijadwalkan.
“Fajar!”
Fajar menoleh.
“Apa?”
“Kok duluan sih? Kan janjian pulang bareng..” ujar Joni sebal seraya menyetarakan jaraknya dengan Fajar.
“Duh! Afwan1... lupa!” sahutnya seraya menepuk jidat.
“Gak papa deh! Eh! Ini bukumu ketinggalan!”
“Aih! Kok dari tadi lupa melulu ya?”
“Maklum kakek-kakek!”
“Iih!!!” Fajar memukul bahu Joni
“Aduh! Sakit ,Kek! Sakit ,Kek!!” bukannya meredakan amarah, Joni malah telah membuka kata kunci pembuka jurus seribu pukulan Fajar, “Adududuh!! Hehehe. Eh, jadi gak ke pasar hari ini?”
“Insya Allah deh,”
“Kok pake deh?”
“Insya Allah...”
“Pasti?”
“Suka-suka kamu deh, yang pasti kok kamu gak belok ke gang rumah kamu?” Jawab Fajar. Joni kebingungan sendiri, segera berlari ke arah berlawanan.
***
Pasar memang tempat yang asyik untuk apa aja. Ada yang jualan ikan asin, jualan baju, jualan plastik, sampai jualan bakat mencopet. Entah siapa yang menyuruh para penjual ini mengelompokkan diri. Bagian penjual baju semuanya penjual baju, yang menjual aksesoris, semuanya bikin kelompok sendiri.
Afwan : LupaFajar dan Joni berbelok ke kiri. Deretan penjual sendal tertata rapi. Menyenangkan sekali suasana disini. Fajar dan Joni berhenti di seorang pedangang dengan kumis yang begitu tebal, karakter yang sangat unik dibandingkan dengan semua penjual di pasar ini, lebih cocok jadi tukang sate. Seorang ibu sedang adu tawar menawar. Fajar dan Joni menyaksikan dengan seksama.
“Bang ini berapa?”
“Dua lima, bu!”
“Gile loe! Dua belas aja deh....”
“Wah.... kagak bisa bu,”
“Tiga belas deh, tiga belas, naik tuh udah, terima aja gih...”
“Dua puluh udah dari sononya bu, kagak bisa....”
“Ya udeh..” Sahut ibu itu , meletakkan sendal yang ingin dibelinya seraya melenggang pergi.
“Tunggu Bu!” sontak pedagang tadi memanggil ibu tadi,”Gak papa deh Bu!”
“Nah... gitu dong, baru sip namanya...” jawab ibu tadi seraya mengeluarkan beberapa lembar uang ribuan dan selembar sepuluh ribuan.
Giliran Fajar dan Joni, selang beberapa menit mereka melihat-lihat. Sendal dengan motif kamuflase sempat menarik perhatian Fajar, sayang kekecilan. Ada lagi sendal hitam dengan tulisan Sport tercetak rapi, tapi entah kenapa tampilannya tidak bagus lagi.
“Ini bagus nich!” kata Joni, tangannya memegang sendal merah menyala dengan sebuah garis kuning di sisinya.
“Wah, keren juga nih! Berapa ini Bang?” tanya Fajar.
“Tiga puluh.”
“Beneran aja ,Bang? Gak bisa lebih murah lagi ya?” Fajar memulai jurus menawarnya.
“Emang naroh berapa?”
“Tiga belas,”
“Widih! Kagak bisa, tiga puluh bisa,”
Dari kualitasnya sih Fajar tahu kalau sendal itu maksimalnya paling tidak seharga dua puluh ribuan.

“Empat belas deh, pas aja kan bang?”
“Gak bisa, tiga puluh pas banget, udah pas banget....”
“Ambil deh bang.. plis..”
“Sori de’ gak bisa,”
“Ambil aja deh bang, kalau enggak enam belas deh, cukuplah bang...”
“Tiga puluh”
“Tujuh belas aja deh..”
“Dua sembilan boleh deh,”
“Delapan belas deh bang...”
“Dua sembilan harga mati tuh!”
“Dua puluh deh, dua puluh..”
“Dua tiga”
“Setuju!” Fajar segera mengambil harga kesepakatan tersebut. Ternyata tidak lama bertransaksi dengan abang ini. Joni tersenyum senang melihatnya. Tidak salah Fajar berguru ilmu tersebut dengan Joni dan latihan berminggu-minggu di kantin.
***
Azan Isya berkumandang, warga blok A berduyun-duyun memasuki mesjid At-Taqwa. Sebagian besar bapak-bapak, namun masih ada satu – dua ibu-ibu yang ikut. Fajar dengan bangganya mengambil sendal merahnya, sendal yang begitu sedap dipandang. Masih mengkilat, masih terhindar dari debu. Baru saja dia membelinya tadi sore bersama Joni.
“Ceile, yang sendalnya baru nih..” Joni sudah di depan pagar, menanti Fajar. Fajar nyengir.
“Ya... menuju rumah Allah kok yang jelek-jelek, yang bagus dikit gak apa-apa lah... Lagi pula sandal gue yang itu diberikan ke adik gue,” jawab Fajar seraya menatap sendal hitam yang berada di bawah kursi. Sendal penuh kenangan.
“Ya udahlah, gak usah ngomongin sendal, berangkat bos!”
“Let’s go!” jawab Fajar dengan seraya melangkah mantap bersama sendal merahnya.
***
Mesjid sudah sepi, cuma Fajar dan Joni yang masih keliling-keliling di pekarangan mesjid. Kepala mereka berputar-putar celingak-celinguk mencari sesuatu.
“Yakin tadi kamu pake?”
“Ya Allah, Jon. Kan loe sendiri yang ngeliat...”
“Iya juga sih....” Joni menggaruk-garuk kepalanya, “emang tadi kamu taruh dimana?”
“Ya dipelataran mesjid sana itu,”
“Sendalnya ada namanya, nggak?”
“Kagak, namanya juga sendal baru, Jon.”
“Aduh....” Joni terduduk lesu.
“Sudahlah, sudah satu jam kita keliling-keliling, biarin aja hilang-hilang aja. Toh semua yang bernyawa akan kembali kepada-Nya, eh sendal bernyawa ya?”
“Hehehe.. Bener nich gak papa, jar?”
“Udah gih, kita pulang aja, aku juga udah capek nyarinya, biar aja nyeker, yuk pulang.”
“Aku nyeker juga ah!” Joni melepas sendalnya. Mereka pulang seraya menikmati pijatan refleksi alami. Nyut! Nyut!
***
Hari minggu yang cerah dan cukup terik. Cuman ayam yang masih suka panas-panasan sambil mematuk-matuk tanah. Fajar dan Joni salah satunya, ayam yang masih mematuk-matuk sendal di Pasar Raya.
“Aku pengen beli sendal, tapi duitnya kemarin ndak ada, alhamdulillah tanteku datang tadi malam, tahu aja dong tanteku,”
“Yup, persenan kan?” jawab Fajar.
“Ho’oh, lumayan...”
“Ya udah, kita ke penjual sendal yang kemarin aja,”
“Oke...” Joni manggut-manggut.
Sesampai disana Joni menawar dengan seru, saking serunya sampai bila PERSIJA kalah main bola Fajar lebih milih Joni yang sedang seru-seruan tawar menawar. Aih! Ada sendal merah yang kemarin Fajar beli, Fajar tersenyum lemah. Ugh.... ceroboh.... ucapnya dalam hati.
“Ini uangnya bang,” sahut Joni
“Tuh kan, ada aja uangnya,”
“Ye... kan kita udah deal?”
“Iya deh, iya,” penjual sendal itu cemberut, tangannya merogoh-rogoh tas cangklong abu-abu dan memberi beberapa lembar sepuluh ribuan ke Joni.
“Keren nih!” Fajar mengomentari sendal Joni yang baru itu. Warnanya biru dengan aksen kuning di beberapa tempat.
“Sip, sebelum pulang kita ngebakso dulu yuk!” kata Joni,
Fajar menepuk-nepuk kantong celananya. Gerakan yang mudah untuk ditebak.
“Biar gue yang bayarin..” sambung Joni. Fajar nyengir, jarang-jarang Joni mentraktir.
***
SMA Negeri 1 kini diliputi celoteh ceria siswa-siswinya. Mereka bertaut perasaan lelah dan senang. Ekspresi yang dapat dipastikan setiap kali sekolah usai. Tapi ada satu yang begitu murung.
“Senasib kita, Jon.. Jon....” Fajar menepuk bahu Joni.
“Siapa sih yang ngambil? Emang maniak banget tu orang!” Joni meninju telapak tangannya.
“Kolektor sendal kali, itu tandanya sendal yang kamu beli bagus, berarti kamu gak salah milih, ya nggak?”
Joni diam saja
“Oh iya, hari ini kita jadi kan ngerjakan tugas TI di rumah Roy?” Fajar mengalihkan pembicaraan.
“Oh, he’eh, hampir gak ingat. Roy udah bilang sama aku nanti datang kerumahnya jam tiga, bada’ ashar lah gitu..., “ jawab Joni.
“Sip, nanti aku ke rumah kamu dulu aja ya! Rumah Roy kan sejurusan ke arah rumah kamu, oke?”
“Siap bos!”
***
Rumah Roy cukup besar. Di depan rumahnya terdapat taman yang lumayan luas, cukup luas apalagi bila dibandingkan rumah Joni yang tidak ada tamannya sama sekali. Di taman itu berbagai tanaman yang sering digunakan sebagai obat-obatan berjejer. Jahe ditaruh di pot kecil di atas rak, pohon jambu klutuk yang lebat terletak di sudut taman, beberapa buahnya sudah mulai ranum. Di dekat pohon jambu pohon jeruk nipis kecil-kecil menggelayut, melambai-lambai tertiup angin dibawah bayang-bayang matahari. Tampaknya dahannya keberatan menahan jeruk nipis yang begitu banyaknya.
“Masuk aja,” ajak Roy.
“Assalamualaikum...” sahut Fajar dan Joni bersamaan setelah masuk ke dalam rumah Roy.
“Walaikum salam, duduk gih, aku mau ke belakang sebentar,” sahut Roy. Fajar dan Joni mengangguk pelan.
Ruang tamu Roy tidak ada kursinya, hanya sebuah meja kotak berada di tengah ruangan diletakkan. Untuk alas lantai, Roy menggunakan tikar dari rotan. Minimalis. Di dinding tergantung foto-foto keluarga Roy. Ada foto Roy, Dina, kakak Roy, dan Moro yang masih berumur lima tahun.
“Jar!”
“Eh, apa?” jawab Fajar. Joni membuyarkan pengamatannya.
“Itu, mirip sama punya kamu!” Joni menunjuk ke sebuah sendal di depan pintu.
“Eh? Sendal merah itu?” Fajar mendekat, “Iya ya! Mirip banget!”
“Jangan-jangan Roy lagi yang mencurinya!”
“Hush! Sembarangan kamu! Baru aja di sekolah kita belajar surah Al-Lahab, mau jadi pembawa kayu bakar loe? Ingat itu bro!”
“Astagfirullah....” Joni nyengir,”Sori deh... cuma ngambil prediksi...”
Tak lama kemudian Roy membawa senampan penuh makanan dan beberapa gelas sirup berwarna oranye.
“Duh, jadi ngerepotin, kan kami kesini cuma mau ngerjakan tugas..” kata Fajar.
“Ah.. gak apa-apa...silahkan diminum” sahut Roy.
“Eh iya Roy, sendalnya baru ya, beli dimana?” Joni nyeletuk.
“E? Kok tahu? Itu beli di Pasar Raya,” jawab Roy.
“Sama abang-abang yang ada kumisnya itu?” tanya Joni iseng.
“Tul! Yang bawa tas cangklong abu-abu itu!”
“Wah! Kita sama donk! Itu langganan kami berdua loh!” kata Joni seraya menunjuk Fajar dan dirinya bergantian secara cepat.
“Wah.... kebetulan yang aneh juga ya, hehehe, udah ah, yuk kita mulai aja, bahan-bahannya sudah kusiapin, tinggal nempelnya aja nih,” sambung Roy.
“Sip.... aku gunting dulu deh yang ini, terus nan....”perkataan Fajar terpotong.
“Assalamualaikum..”
“Walaikum salam...” sahut mereka bertiga.
Sesosok wanita dewasa dengan kerudung coklat tua dan jubah coklat muda masuk ke dalam rumah Roy seraya menjinjing kantong plastik hitam besar.
“Ada temannya ya, Roy?” kata wanita itu
“Iya. Jar, Jon, ini mamaku...”
“Sore tante....” sahut Fajar dan Joni.
“Sore, ya udah, tante tinggalin ya, tante mau kebelakang dulu,” setelah tersenyum, ibu Roy pergi ke belakang.
“Oke, kita lanjutin,” sontak Roy.
“Sampai mana tadi? O ya, aku gunting terus di tempel Joni, oke?” jelas Fajar
“Oke bos!” sahut Fajar. Roy ikut manggut-manggut.
Selang lima belas menit berlalu, Joni menepuk bahu Fajar pelan.
“Apa?” jawab Fajar pelan. Ia sedang menggunting sebuah halaman di majalah Komputerku. Joni menunjuk kembali ke arah pintu.
“Mirip sendalku,” kata Joni.
“Eh, apa?” tanya Roy, ternyata Roy juga mendengar.
“Eh, enggak, sendal mama mu mirip sendalku yang dulu,” kata Joni menjelaskan.
“O, itu.. sebenarnya tadi siang mamaku sendalnya robek, rusak berat! Maklumlah sudah tua. Terus mamaku nanya kemarin aku beli sendal merah itu dimana, sandalnya enak katanya, nah, terus aku bilang di Pasar Raya, langsung deh aku disuruh ke sana tuk beli sendal. Gak ada sendal yang persis kayak punyaku, jadi aku beli deh sendal yang warna biru.”
Joni dan Fajar menerima saja cerita itu, tapi yang tidak masuk di akal, kenapa kedua sendal itu sama persis dengan yang penah mereka beli dan hilang? Bayangkan, hanya satu hari mereka memakainya, bahkan tidak sampai genap benar-benar sehari, sendal-sendal mereka sudah raib. Kebetulan yang benar-benar mencengangkan.
Setelah beberapa jam berlalu, model dan bagan untuk bahan presentasi mereka hampir selesai, tapi belum sempurna.
“Besok ngerjakannya giliran aja yuk!” usul Roy.
“Kemana?” tanya Fajar.
“Ke rumah loe aja, Jar!” jawab Roy.
“Oke deh, aku bakalan standby terus jam 3.”


***
Hujan mengguyur dengan deras hari ini. Bunyi kletek-kletek air yang jatuh dari genteng mengisi relung-relung kering. Iramanya seolah mengiringi setiap gerakan yang penghuni rumah itu lakukan.
“Alhamdulillah selesai...” Joni mengelap tangannya dengan secarik tisu.
“Syukurlah! nah, aku mau tahu lebih lanjut cerita tentang hilangnya sendal kalian itu, bisa?” ujar Roy seraya duduk bersandar bertumpu dengan kedua tangannya. Akhirnya Fajar dan Joni menceritakan semuanya. Sesekali Roy bertanya dan mengangguk-angguk.
“Gitu deh ceritanya,” ujar Fajar mengakhiri ceritanya.
“Aneh juga ya? Apa selama ini pernah orang yang kehilangan sendal di mesjid?”
“Kehilangan? Gak pernah ya, kalau kepinjem sih pernah, alias salah bawa,” sambung Joni seraya menyomot sebuah kelepon. Sayup-sayup di deru derasnya hujan terdengar adzan Maghrib berkumandang.
“Eh, udah Maghrib tuh! Ke mesjid yuk!” ajak Fajar, Roy dan Joni mengangguk-angguk.
“Aku minjem sarungmu ya!” kata Roy.
“Sip, tunggu disini dulu ya!” Fajar pun berlalu ke dalam, selang beberapa waktu kemudian Ia membawa sebuah sarung berwarna biru dengan kotak-kotak merah. “Ayo berangkat!”
“Pake apa? Hujan!” tanya Joni seraya memandang keluar dengan wajah mengkerut.
“Ah, pake jas hujan aja, tuh, disana, disana Jon,” Fajar menunjuk benda biru tua yang terlipat rapi di bawah kursi.
“Oke, ayo berangkat!”
***
“Gak salah lagi, ini memang pencurian!” Roy berkata pelan di kantin.
“Iya, aku juga setuju. Hihihi!” sambung Fajar.
“Kok ketawa?” kata Joni.
“Aneh aja, kok bisa kita yang kebetulan diambil sendalnya? Hehe...”
“Gimana lagi ya? Gue gak ada sendal lagi nih, kalian berdua mau gak ikut kepasar nanti sore?” ucap Roy seraya menyeruput teh es nya.
“Oke, kita ketemuan di dekat orang jual ketoprak ya!” ujar Joni menyetujukan.
“Kok dekat ketoprak?” Fajar bingung.
“Aku mau makan ketoprak dulu, hehehe, udah lama gak makan,”
“Aduduh.. aneh-aneh aja, ya udah, aku berangkat bada’ ashar, deal?” sahut Roy.
“Deal.....” sahut mereka serempak.
***
Pasar hari ini tidak begitu ramai seperti hari-hari biasa. Joni kembali mencari-cari penjual sendal langganan mereka.
“Itu!” tunjuknya. Mereka bertiga pun berduyun-duyun kembali mengerumuni penjual sendal itu.
“Eh, datang lagi, De?”
“Iya mang,” sahut Roy singkat. Kini dia sibuk mencari-cari sendal yang menurutnya dia suka, Fajar dan Joni ikut membantu.
“Ini?”
“Gak, terlalu cerah ah,”
“Kalau yang ini?”
“Hm.... boleh juga, cari yang lain dulu,”
“Kalau ini?”
Kegiatan itu memakan waktu beberapa menit.
“Loh?” Roy heran, matanya terbelalak.
“Kenapa?” Fajar heran melihat tingkah laku Roy.
“Nggak, beli ini bang,” ujar Roy mengacuhkan Fajar dan Joni.
“Tiga lima,” sahut abang itu, Roy tanpa basa-basi langsung menyerahkan uang pas dan berlalu pergi. Dibelakangnya Fajar dan Joni mengikuti, tergesa-gesa menyetarakan langkah kaki Roy.
“Ada apa sih Roy?” Fajar mengulang pertanyaannya. Roy membuka kantongan plastiknya dan membalik sendal itu. Ada sesuatu yang tampaknya seperti torehan dalam, dan bukan motif.
“Apa tuh bacaannya? Y.... eh.. R...,” kata Joni lugu.
“ROY, loh! Ini sendalmu, Roy!”
Roy mengangguk tegas, membetulkan perkataan Fajar.
***
Adzan maghrib kembali berkumandang. Mentari temaram di ufuk barat. Mengintip seolah mengantuk. Hanya rembulan yang cemerlang bertengger menggantikannya.
“Ssst...”
“Sori,” jawab Joni menanggapi Fajar.
“Mmh.... rasanya dosa banget....,” Roni menggores-gores lantai, khawatir akan waktu sholat Maghrib yang terus berkurang.
“Gak papalah, nanti kita kejar, penasaran!!!” jawab Joni.
“Oh, atau gini aja, kita giliran sholat, pos ronda nya kan cukup besar nih,” usul Fajar.
“Boleh tuh, kebetulan aku bawa sejadah,” ujar Joni.
Roy pun berlari mengambil air wudlu dan kembali ke pos ronda dengan tergesa-gesa. Meggelar sejadah merah Joni dan memulai takbir.
Sendal berkilat-kilat terbuat dari kulit itu berdiam diri dengan sahaja. Masih menunggu siapa yang jadi pemiliknya, pencurinya tepatnya.
“Gak mungkin kan kalau diambil sama orang yang datang dari mesjid?” kata Joni seraya memandang pelataran masjid dengan waspada. Roy dibelakangnya sudah rakaat kedua. Didalam mesjid masih terdengar sayup-sayup suara dzikir. Hening sejenak.
“Gimana?” Roni menyahut dari belakang Joni, dia telah selesai sholat.
“Gak a...”
“SST!! Itu!” Fajar menunjuk sesosok laki-laki dengan jaket hitam. Menoleh kesana-kemari. Sesekali memandang pelataran mesjid, kemudian menoleh kembali. Tangannya menjulur kedepan dan mengambil.... SENDAL!!!
“Ayo!” Roy mengomando.
Mereka bertiga mengambil jalan memutar, berpencar menjadi tiga jurusan. Pencuri sendal itu berada di tengah, terkepung, namun masih tidak tahu. Roy makin mendekat dari kanannya. Joni diam-diam dari kiri, Fajar dari belakang. Dan....
“MALIING!!!” Fajar menyergapnya!.
Sontak seluruh penghuni mesjid keluar, berbondong-bondong melupakan dzikir nya. Sergapan Fajar digantikan kepitan Pak Amin dan ayah Fajar, Pak Dadang.
“Mana?”
“Ini Pak!”
“Siapa?”
“Astaga!”
“Ini?”
“Hah?!?!?!”
Joni membelalak, Fajar terkejut, Roni melongo. Orang itu membawa tas cangklong abu-abu, kumisnya begitu tebal memenuhi bagian di bawah hidungnya.
“Abang penjual sendal?!?!?!?” sahut mereka bertiga keheranan.
“Ada apa sih? Sudah-sudah, kita bawa ke Pak RT sekarang!” sahut Pak Amin dan ayah Fajar.
***
Tiga orang kembali melangkahi bumi Pasar Raya. Kembali mengawasi jejeran penjual sendal di sisi timur. Kembali mencari-cari sendal pilihan.
“Yang merah?” Joni memilih.
“Enggak ah, aku suka yang biru,” jawab Roy.
“Yang ini keren juga, old-style,” ujar Fajar seraya memutar-mutar sendal itu, “Eh?” torehan yang cukup dalam dan bukan dari pabrik sendal tercetak cukup jelas disana, di bawah sendal, di kiri atas.
“Rusak,” kata Joni.
“Bukan,” Roy memperhatikan.
“Terus?”
“Coba kamu balik, Jar.”
DADANG
“Loh... itu kan? Itu kan??”

Alhamdulillah
Selesai di Sampit
22 Januari 2008
Jam 18:07
SENDAL MERAH

Read more...

Kemah Besar Bakti

Lelahnya CAMPING

Bumi perkemahan kota besi tempatnya. Diantara rerumputan yang rimbun, disela-sela ilalang menggunung, tenda-tenda aneka bentuk dan berwarna-warni berjejer rapi menantang matahari.

Wah... capeknya, tanggal 25-27 Januari yang lalu gue pergi ke KoBes (kota besi), yang istilah kerennya The Iron City gitu...
Disana digelar acara “Kemah Bakti dan Prestasi” untuk merayakan ulang tahun KoTim(Kotawaringin Timur), yang ke 55 tahun.

Lelah.. lelah.... meskipun makanan catering, tenda dari kompi n’ dipasangin, pergi pake truk TNI, eh, teteup aja capeks, pake “s” capeknya, capek sekaleeeee. Disana aku ngikutin lomba komputer. Hlahhh?!?!??! Kemah kok lomba komputer?!??!! Kontras sekali!!! Dan yang anehnya lagi aku balik lagi ke sampit. Jadi rutenya sampit>kobes>sampit>kobes. Hohoho... dan perjalanan waktu lomba ke Sampit pake pickup yang gerojok-gerojok grumpyang-grumpyang naik turun, wuih.... sampai memar-memar, hehehe... tapi alhamdulillah juara 1.

Sebell!!! Aku dicoletin odol ama orang-orang waktu malam terakhir, tapi kata temenku ketika dicoletin sedikit ke pipi aku langsung terjaga, n’ mereka langsung pura-pura tidur. Hehe... biar yang nyoretin gak dituduh, mereka nyoletin sendiri, hihihi!! ODOL PANAS!!!
Untuk juara umum, SMANSA SAMPIT juara-juaranya
OSIS juara umum 3
PMR juara umum 2
PRAMUKA juara umum 1
Wahaha! 321 tcoy!









Inilah para pengungsi di KoBes, eh enggak,cuman becanda, hehehe.. Ini lagi rame-rame dalam tenda, asyiknya....



Kayak TRIPOD di film War Of the World ya? Padahal ini menara pengawas disana.

--------------A story about ORIN--------------
Orinasari namanya, ikut lomba pidato bahasa Inggris. Dia nangis karena sebel juara 2, dan yang juara 1 dari SMK-1 (k’lo gak salah), dia bilang dari SMK itu curang. Bayangin! Juara 2 nangis! Apa gak seharusnya bersyukur?

Hmh, aku jadi ingat waktu dulu, waktu aku masih ikut pidato bahasa Inggris.

Dulu aku sering menang pidato bahasa inggris (ih sombong!), terus Orin menyaingi. Dulu ada lomba di BPG, panitianya ada Pak Nasrullah, dan Pak Karim. Pak Karim itu guru les di EGAP. Nah, kalau Pak Nasrullah guru SMANSA, dan.... temannya Pak Karim lah. Ketika juara diumumkan dan aku tidak masuk jadi pemenang aku sebal sekali, pasti ada intrik disini, kecurangan mutlak. Iya, aku curiga persengkokolan dari dalam.
Ada lagi ketika lomba debat bahasa Inggris, Pak Karim dan Pak Nasrullah jadi panitia lagi. Eh, ketika lomba yang menang tanpa tanding malah kelompok Orin. Ketika aku tanya ke Pak Karim, he said, “Itu namanya keberuntungan,” dengan ekspresi yang tidak jelas. Bagaimana tidak curiga dan tidak sebal setengah mati??

Akhir-akhirnya aku diam aja, banyak-banyak istighfar, banyak-banyak menyadari kekurangan yang ada dalam diri kita, dan akhirnya aku memahami semua.

Intinya? Kita harus belajar untuk kalah. Jangan selalu berpikiran untuk menang, pikirkan juga apa yang terjadi bila kalah. Be negative itu penting juga untuk semua orang, disaat-saat terburuk dan tak bisa diulang kita harus be negative dengan konteks memahami semua.
-------------

Well... itulah cerita-cerita yang ada di kemah bakti prestasi 2008, it’s delicious!

Nb: aku gak dapat hadiah “Mentahnyo Sajo” dari kemenanganku, hiks! (T_T)


Read more...

Picture

Picture

About This Blog

  © Blogger template Simple n' Sweet by Ourblogtemplates.com 2009

Back to TOP