Search This Blog

KEMBALILAH SAHABAT

>> 4.18.2006

Dita Aditya Putri

Langkahku terasa mantap saat menapaki jalan berpasir menuju sekolah baruku. Seragam yang masih bau pabrik inipun kukenakan dengan perasaan penuh bangga, tak lupa kulirik tanda sekolahku yang sangat mencolok dengan warna pink. Ya, hari ini adalah hari pertamaku memasuki gerbang ini dengan satu tujuan yaitu mendapatkan ilmu pengetahuan. Kenangan masa SMP terkenang kembali saat aku melihat jejeran sepeda di tempat parkir. Namun kenangan itu langsung menghilang saat mataku beralih pada barisan sepeda motor yang rupanya lebih mendominasi. Aku terus merekam memori pertamaku ini. Namun keasyikanku terhenti saat sepotong tangan jahil menepuk pundakku dengan cukup keras.
“Woi, ngelamun aja!” Tegurnya dari belakang.
Langkahnya langsung dipercepat menyamakan dengan langkahku.
“Apaan sih, pagi-pagi udah bikin kaget aja!” Protesku segera.
“Ngomong-ngomong kelas kita dimana ya?”Selorohnya cuek.
“Payah, kelas sendiri ngga tau!” Ledekku seraya mencibir.
Cecunguk yang mengagetkan jantungku pagi ini adalah teman baruku, teman yang baru saja kukenal saat masa orientasi siswa. Sebenarnya aku kurang merasa nyaman dengan sikapnya yang sok kenal sok dekat. Tapi tak apalah karena aku tak ada pilihan lagi selain menerimanya menjadi teman mungkin sahabatku. Oya namanya Juni, seperti nama bulan keenam dalam satu tahun. Nama yang sangat simpel dan juga mudah diingat. Perawakannya yang kurus tinggi, rambut lurus yang selalu dibelah tengah dan juga kulit yang putih bersih maklumlah dia kan asli Dayak.
Kami terus berjalan sampai tiba di kelas satu ruang satu yang berstatus sementara ini. Mengapa disebut sementara karena kelasku ini sebenarnya adalah laboratorium Biologi. Namun karena jumlah siswa yang diterima lebih banyak dari kapasitas kelas sehingga siswa baru seperti kami ini dengan berat hati merelakan diri untuk belajar di laboratorium.
Tepat pukul 06.30 bel berbunyi, kami segera memasuki kelas, maklumlah siswa baru masih rajin. Aku yang sedari tadi belum memasuki kelas menjadi kebingungan saat mencari bangku, nampaknya semua bangku sudah ditempati anak baru. Aku hanya berdiri memandangi mereka. Namun lagi-lagi cowok sok kenal sok dekat itu memanggilku.
“Hai Aga, kenapa berdiri aja? Mau jadi patung selamat datang…cepat ke sini duduk di sebelahku!”
Aku tercengang melihatnya. Hatiku mengumpat pelan “Pede banget tu anak, emangnya aku mau duduk sebangku dengan dia apa?”
Namun setelah aku berkeliling mencari bangku kosong tak satupun yang masih tersisa. Dengan langkah terpaksa aku mendatangi bangku Juni yang berada di depan.
“Nah gitu donk Ga, cepat duduk di sini, sebentar lagi pelajaran pertama dimulai.” Ucapnya sambil menggeser bangku agak ke belakang agar aku bisa duduk.
“Thanks.” Jawabku pelan.
Pelajaran pertama kulalui dengan penuh semangat walaupun perasaanku agak kurang nyaman duduk di sebelah cowok ceriwis ini. Setelah bel pulang berbunyi aku segera merapikan bukuku dan segera meninggalkan kelas. Namun Juni mencegah langkahku dengan panggilan berisiknya.
“Ga, kamu mau kemana?” Tanyanya.
“Ya pulanglah, kemana lagi!” Jawabku ketus.
“Oh…ya udah sampai jumpa besok.” Ucapnya sembari melambaikan tangan.
Aku tak menjawab ataupun membalas lambaian tangannya. Aku langsung berpaling dan meneruskan langkah.
Cuek dan tidak peduli itulah sifatku. Entah mengapa aku tidak suka berteman dengan banyak orang apalagi kalau orang itu sifatnya kayak si Juni yang bawel abis. Selama aku hidup di dunia ini aku hanya memiliki tiga orang sahabat yang menurutku sangat setia. Mereka adalah Dede, Alvin, dan Aan. Sejak taman kanak-kanak hingga SMP kami selalu bersama namun saat SMA ayahku dipindahtugaskan oleh kantornya ke kota Sampit sehingga dengan berat hati aku mesti meninggalkan mereka. Tiga sahabatku itu begitu pengertian dengan sifatku yang cenderung moody. Aku bertindak sesuka hati, apabila aku ingin marah aku bisa melampiaskan amarahku dengan siapapun, dengan adanya ketiga sahabatku itu sifat moodyku ini bisa disalurkan ke tempat yang tepat yaitu kepada mereka. Mereka akan dengan senang hati menerima semua cacian bahkan pukulan apabila emosiku sedang di luar batas. Namun sekarang, entahlah, siapa yang bisa menjadi perisai yang mampu meredam syndrome ajaib yang kumiliki ini. Untunglah sejauh ini aku belum menunjukkan gejala-gejala aneh kepada teman-teman baruku.
***
Pagi yang cerah kembali menyapaku. Dengan hati riang aku kembali menelusuri jalan berpasir menuju SMAN-2 Sampit. Hari ini aku akan mempresentasikan makalah Biologi yang baru saja kurampungkan tadi malam bersama Juni. Aduh, mengapa akhir-akhir ini aku jadi lebih akrab dengan tu anak ya? Padahal aku tidak menyukainya. Masa bodoh lah! Yang penting dia bisa diajak kerja sama dalam membuat tugas, why not?!
Senyum sumringah terpasang di wajah Juni saat aku berjalan menghampirinya.
“Sudah selesai diketik kan Ga?” Tanyanya segera.
“Beres Jun,” jawabku singkat.
“Sini liat dulu, kali aja ada kata-kata yang salah ketik.” Ucapnya seraya merebut makalah yang sudah kujilid dengan rapi.
“Sialan!” Cercaku.
Itulah salah satu sifat Juni yang kurang kusuka. Dia selalu meremehkan hasil pekerjaanku. Sebenarnya aku ingin menonjok mukanya namun ada perasaan enggan dan juga kasihan. Sepertinya aku mulai terpengaruh dengan pergaulan Juni yang cukup friendly dengan teman-teman di kelas. Walaupun sikapku yang terkesan berhati-hati masih belum menghilang sepenuhnya.

Akhirnya presentasi selesai dengan iringan tepuk tangan anak-anak di kelas. Ibu Zubaidah, guru Biologi kami memberikan pujian atas presentasi kami yang cukup menarik sehingga mendapatkan antusias anak-anak lain. Dengan besar kepala Juni mengatakan bahwa presentasi ini berhasil berkat kepiawaiannya dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan para peserta, padahal yang membuat konsep untuk menjawab pertanyaan itu adalah aku, sedangkan dia hanya menguraikan garis besar yang telah ku tulis. Whatever lah aku tidak peduli dengan ocehannya yang selangit. Yang penting sekarang aku bisa bernafas lega.
Pelajaran kedua dimulai, Pak Toyib guru Fisikaku yang mirip Osama bin Laden ini langsung mentitahkan tugas berkelompok membahas bab empat. Secara kebetulan aku tergabung dengan Juni dan dua temannya yang ngakunya sih bernama Abas dan Khairil. Diskusi itu berjalan dengan lancar dan cukup santai. Abas dan Khairil ternyata cukup menyenangkan untuk diajak berbicara. Sedari tadi mereka mengeluarkan lelucon yang garing namun lucu.
***
Berawal dari diskusi Fisika, temanku bertambah dua. Kebiasaanku menyendiri mulai berubah. Aku lebih sering berkumpul dengan Juni, Khairil, dan Abas. Akhir-akhir inipun mereka sering ke rumahku, entah untuk belajar bersama ataupun hanya untuk menggangguku. Kadang-kadang aku merasa ketenanganku terusik namun ada sudut batinku yang terisi dengan kehadiran mereka.

Pagi yang cerah di hari selasa, Juni sudah memarkirkan sepedanya di halaman rumahku. Aku yang masih setengah sadar sehabis pintu kamarku digedor ibu buru-buru keluar menyambut kedatangannya.
“Pagi amat Jun, nggak biasanya,” tanyaku.
“Sengaja Ga,” jawabnya.
“Sengaja?” Tanyaku heran.
“Sengaja pengen ikut sarapan hehe...” Ia tersipu.
“Dasar! Emangnya rumahku restoran siap saji apa!” Umpatku pelan.
Tiba-tiba imajinasiku melukiskan Juni sedang memesan makanan di sebuah restoran dan aku sebagai pelayannya “Mas, nasi goreng satu dan minumnya es teh ya nggak pake lama”.
“Oi, cepetan mandi sana! Biar cepat juga sarapannya!” Tegur Juni membuat imajinasiku buyar.
“Ya, dasar kecoak bengis!” Hardikku.
“Kecoak??? Kamu tuh yang amoeba, lelet banget jam segini belum mandi!”
Aku segera menjitak kepalanya namun dengan gesit ia menghindar.
“Hei, hei, pagi-pagi udah ribut, Aga cepetan mandi sana!” Tegur bapak yang juga akan berangkat ke kantor pagi itu. Aku segera berlari ke kamar mandi namun sebelumnya aku berhasil mendaratkan satu pukulan di pantat Juni.
Setelah ritual mandi pagi yang tidak menjadi favoritku, aku segera mendaratkan tubuh di kursi meja makan. Rupanya cecunguk itu sudah sedari tadi bersemayam di kursi sebelahku. Ibuku tercinta datang membawa piring-piring yang terisi dengan nasi goreng. Mmm… baunya enak nih…(jangan ngiler yach!)
Ternyata jam sudah menunjukkan pukul 06.25, aku mengomeli Juni karena dia terlalu lama nongkrong di kamar mandi sehingga kami terpaksa berlari-lari menuju sekolah yang cuma berjarak 200 meter dari rumahku. Saat kami melewati pos ronda yang berada di persimpangan jalan, kami bertemu dengan sekawanan angsa yang sedang mendendangkan lagu kebangsaannya. Bulu kudukku langsung berdiri mengisyaratkan ketakutan.
“Tenang, calm down, berjalan pelan, kalo dikejar baru lari.” Aku berkomat-kamit sendiri.
“Asyik ada angsa!” Seru Juni yang membuatku kaget. Apalagi saat melihat dia berlari mengejar kawanan angsa yang otomatis menghindar sambil berteriak-teriak minta tolong.
“Angsa yang malang.” Ucapku dalam hati.
Sekilas aku menatap arloji di tangan. Mataku langsung terbelalak.
“Wa, jam setengah tujuh lewat!!!” Teriakku panik. Aku langsung berlari secepat mungkin untuk mencapai gerbang sekolah yang mulai ditutup oleh penjaga sekolah. Ternyata kecepatanku berlari tak membuahkan hasil baik. Penjaga sekolah yang bermuka menyeramkan itu langsung menyuruhku mengikutinya. Ternyata di sana sudah berdiri Juni dengan muka tertunduk. “Ngapain menunduk segala? Angkat mukamu dan katakan kalo kamu yang menyebabkan semua ini!” Omelku dalam hati.
Setelah kami mendapat hukuman mengambil sampah yang berserakan di halaman sekolah, kami diizinkan ke kelas. Sepanjang perjalanan menuju kelas aku tidak menyapa Juni, aku benar-benar kesal dengannya. Seandainya dia bukan teman dekatku sudang kucincang dari tadi. Imajinasiku kembali muncul. Juni kubaringkan di atas talenan besar, aku mulai mengasah samuraiku sampai mengkilat. Aku menebas tanaman yang ada di sekitarku mencoba ketajamannya. Kemudian aku segera mengarahkannya pada Juni dan…
“Oi, sakit tau!” Kudengar Juni mengaduh.
Rupanya aku memukulkan penggaris besiku pada kepalanya.
“Sorry, sengaja.” Tukasku enteng.
“Dasar kejam!” Balasnya.
Rupanya perseteruan kami belum berakhir sampai di situ. Sampai di kelas kami langsung mendapat sorakan teman-teman karena datang terlambat. Untunglah Bu Sarniah guru Bahasa Inggrisku yang cantik dan baik itu tidak memberi hukuman tambahan atas keterlambatan kami maklumlah aku kan tetangga beliau hehe…
“Aduh, banyak banget sih sampah di bawah meja kita, sampah kamu kali Ga!” Omel Juni saat tiba di bangku. Dia langsung menendang sampah-sampah itu ke bawah mejaku. Tentu saja aku tidak membiarkan perbuatan tak bermoralnya itu.
“Enak aja, kamu tuh yang jorok!” Balasku seraya menendang kembali sampah-sampah itu.
Dalam beberapa menit kami terus menendangi sampah-sampah itu sampai Indah, salah satu temanku yang duduk di belakang bangku kami menegur.
“Jun, Ga, kalian mencium bau aneh ga?” Tanyanya serius.
“Bau aneh?” Tanya kami bersama.
“Kayak bau kotoran unggas, ya nggak?” Ucapnya lagi.
Kami langsung mengonsentrasikan hidung kami untuk meradar bau yang dimaksudkan Indah itu. Indra penciumanku yang lebih peka langsung menangkap bau itu dan mataku langsung mengarah ke bawah meja.
“Jun, apaan tu hijau-hijau di bawah?” Tanyaku pelan.
Juni segera menatap ke arah yang kutunjuk.
“Emang apaan?” Tanyanya lagi sembari menunduk ke bawah. “Ih, rupanya kita nggak nyadar kalo dari tadi nendangin kotoran angsa.” Tukasnya segera.
“Kotoran angsa?” Heranku.
Aku langsung membalik sepatuku melihat apakah ada something bad di sana dan ternyata…
“Wa!!!” Teriakku histeris.
Anak-anak di kelas langsung mengalihkan perhatian dari Ibu Sarniah kepadaku.
“Ada apa Aga?” Tanya Bu Sarniah lembut.
“Anu bu, saya minta izin ke toilet sebentar” sebuah kebohongan kulakukan untuk menutupi aib yang telah terjadi. Aku segera berjalan keluar kelas diikuti dengan Juni yang rupanya ikut menjadi korban.
Kami menggesek-gesekkan sepatu kami sebersih mungkin di rumput. Aku terus menyalahkan Juni atas peristiwa memalukan ini. Juni yang kelihatannya kesal dengan omelan panjangku tiba-tiba meninjak kakiku dengan keras padahal sepatunya belum bersih dari kotoran angsa.
“Auw!” Jeritku.
Saat kulihat kotoran angsa itu bertambah di sepatuku aku langsung bungkam dan segera berlari meninggalkan Juni. Juni memanggilku namun aku tak menoleh sedikitpun.
Saat jam istirahat aku memutuskan untuk tinggal di kelas. Juni mengajakku ke kantin favorit kami namun aku segera menolak sambil memasang muka masam.
“Aduh, imut banget sih muka kamu pas lagi cemberut gitu.” Godanya yang tidak kugubris.
Saat sosok Juni sudah menghilang dari balik pintu kelas, aku segera mengambil tasnya dari laci meja dan melarikannya ke perpustakaan. Rencana jahatku ini sudah kusimpan sedari tadi. Aku ingin membalas perlakuan Juni yang membuatku benar-benar marah.
Bel kembali berbunyi. Anak-anak segera masuk ke dalam kelas begitu juga Juni. Ia bersiul-siul riang karena perutnya yang rata itu sudah terisi dengan pisang goreng kesukaannya.
“Hallo Mr.Aga yang lagi ngambek, nggak nyesel nih nggak pergi ke kantin?” Tanyanya dengan tatapan meremehkan.
“NGGAK!” Jawabku kasar.
Dia diam mendengarkan jawabanku.
Selama pelajaran kedua itu aku dan Juni tidak berkomunikasi sedikit pun. Tampaknya dia juga marah kepadaku. “Biarin, emang gue pikirin!” Batinku cuek.
Saat Pak Agung, guru matematika kami menuliskan soal untuk dikerjakan aku segera mengambil buku dan pulpen dari dalam tas. Kulihat Juni meraba-raba sesuatu di bawah lacinya namun seperti dugaanku dia tak menemukan apa-apa. “Rasakan pembalasanku!” Batinku lagi. Ia sampai menundukkan kepala untuk memastikan keberadaan tasnya yang tiada. Raut wajahnya menunjukkan kepanikan namun aku tidak mencoba untuk menegurnya.
“Ga, kamu ngelihat tasku nggak? Perasaan kutaroh di laci deh… koq nggak ada ya?” Tanyanya panik.
“Tau deh…” jawabku cuek.
“Jangan-jangan kamu yang menyembunyikan tasku!” Tuduhnya segera.
Aku menatapnya tajam. “Jangan sembarangan menuduh ya!!” Hardikku.
Dia tidak membalas ucapanku. Dia kembali diam namun raut mukanya benar-benar menunjukkan kemarahan.
Pak Agung berkeliling melihat pekerjaan kami. Saat tiba di mejaku bapak langsung tersenyum. “Bagus sekali Aga, kamu cepat mengerti ya,” puji beliau yang membuatku tersipu. Perhatian beliau beralih pada Juni yang diam terpaku.
“Jun, kamu udah selesai? Dari tadi bapak lihat kamu tidak menulis apa-apa.” Tanya beliau.
“Belum pa,” jawabnya pelan.
Tiba-tiba aku merasa iba dengan Juni. Gara-gara kejahilanku Juni mendapat teguran dari Pak Agung. Padahal biasanya kami berdua selalu mendapat pujian dari beliau. Aku langsung memutuskan untuk mengembalikan tas Juni pada jam terakhir nanti dan juga meminta maaf.
Namun takdir baik tidak berpihak padaku. Saat aku ingin mengambil tas Juni di perpustakaan, pintu perpustakaan telah terkunci. Aku langsung memutar otak harus berbuat apa. Kuputuskan pergi ke kantor guru untuk mencari petugas perpustakaan dan meminta beliau membuka pintu perpustakaan. Syukurlah saat tiba di kantor aku melihat petugas perpustakaan yang kucari dan segera menghampiri beliau.
“Pak, bisa minta bantuannya?” Tanyaku segera.
“Aga ya? Apa yang bapak bisa Bantu Ga?” Tanya beliau balik.
“Begini pak, tadi kan saya ke perpustakaan, karena buru-buru mau ke kelas tas saya tertinggal di sana. Sekarang saya mau mengambil tas saya tersebut karena jika tidak saya tidak bisa menulis.” Tuturku panjang.
“Baiklah kalau memang begitu kejadiannya, ayo ikut bapak ke perpus”
Akhirnya tas Juni berhasil kuambil kembali namun saat kembali ke kelas aku tak menemukan sosok Juni. Aku duduk sendiri di bangkuku sampai pelajaran berakhir dan bel panjang dibunyikan. Aku melangkah gontai sambil mengutuki diri sendiri atas kejadian ini. Langkahku terhenti karena tubuh kurus Abas mencegatku di depan pintu kelas.
“Ga, Juni kenapa tuh? Kayaknya dia marah deh... apa yang kamu lakukan padanya?”Abas memberondongku dengan pertanyaan.
Aku langsung menjelaskan kronologis kejadiannya pada Abas. Abas mendengarkan ceritaku sambil manggut-manggut entah mengerti apa nggak.
“Nih, tas Juni, tolong bilangin ke dia aku minta maaf.” Selorohku lesu.
Abas menerima tas Juni dan pamit kepadaku untuk pulang lebih dulu.

Ternyata kata maafku tidak diterima Juni. Keesokan harinya ia tidak menegurku. Akupun tidak mencoba untuk menegurnya lebih dulu. Ada perasaan gengsi yang menyergapku. Pada akhirnya kami hanya diam membisu saat duduk bersebelahan di kelas. Abas dan Khairil yang mengetahui kejadian ini hanya bisa prihatin dengan keadaan kami. Mereka sudah berusaha sekuat tenaga membujuk kami untuk berdamai tapi tak ada satupun yang mau mengalah baik aku maupun Juni. Sifat angkuhku kembali muncul saat menghadapi masalah ini. Aku kembali menjadi sosok yang tidak dikenal dan lebih suka menyendiri. Abas dan Khairil akhirnya pasrah dengan kelakukan kami ini. Mereka memilih untuk diam dan tidak berada di pihak siapapun.
***
Sekarang aku sudah berada di kelas tiga. Tak terasa sudah setahun lebih aku dan Juni tidak saling bertegur sapa. Terkadang aku merasa bersalah kepadanya dan terutama pada Allah. Bukankah sesama umat Islam dilarang tidak bertegur sapa lebih dari tiga hari. Sedangkan yang terjadi padaku sudah lebih dari tiga hari bahkan setahun. Astaghfirullah... aku harus bertindak! Jika tidak dosa-dosaku akan terus bertumpuk. Bagaimana jika hari ini adalah hari terakhirku hidup di bumi? Akankah perang dingin ini kubawa sampai mati? Oh no! Aku harus berdamai dengan Juni!
Aku terpaku diam di teras rumah melamunkan masa-masa indah persahabatanku dengan Juni, Khairil dan Abas. Biasanya siang-siang seperti ini Juni masih berada di rumahku menyantap makan siang bersamaku. Kemudian aku akan mengiringinya pulang dengan motorku, supaya dia tidak tertinggal sebelah tangannya kutarik sehingga dia tak perlu capek-capek mengayuh sepedanya. Lain lagi halnya dengan Abas, apabila aku berkunjung ke rumahnya dan saat aku akan pulang, dia tidak mengizinkanku pulang sendiri, dia segera mengambil motornya dan mengantarku pulang sampai tiba di depan rumah. Padahal aku membawa motor sendiri namun dia selalu mengantarku dengan motornya. Mendengar kebiasaan Abas yang selalu mengantarku pulang, Juni pun ingin melakukan hal yang sama terhadapku saat aku berkunjung ke rumahnya. Namun dia tak mempunyai kendaraan bermotor sehingga sesaat sebelum aku berpamitan pulang dia segera berlari ke rumah Abas untuk memintanya mengantarku. Hal ini membuatku terharu, begitu sayangnya mereka kepadaku sampai rela mengorbankan waktu untuk menemaniku pulang padahal aku kan sudah besar dan bisa pulang sendiri.
“Ga,” panggilan seseorang menghapus bayangan Juni dan Abas dari benakku.
Aku segera mengalihkan perhatian padanya.
“Dedy,” sapaku.
Dedy adalah teman dekatku sekarang dan juga tetanggaku, letak rumahnya tak jauh dari rumahku. Semenjak kelas dua aku sudah sekelas dengannya. Karena pada waktu itu aku tidak mempunyai teman dekat, dia mengajakku duduk sebangku dan aku menerimanya. Dari situlah persahabatan kami berawal yang akhirnya terus berjalan sampai kami duduk di bangku kelas tiga IPA tiga. Namun bukan berarti aku tidak mengikuti berita mantan teman-teman dekatku. Aku tahu bahwa Abas dan Khairil memilih jurusan IPA juga namun sayangnya dia tidak sekelas denganku dan kudengar dari Abas, Juni memilih jurusan IPS.
“What’s going on with you?” Tanya Dedy.
“Ah nggak Ded, pengen ngelamun aja,” jawabku segera.
“Nggak mau nyeritain nih...”
“Bukan begitu”
“Kalo gitu ceritain donk!”
“Di sini dilarang pemaksaan!”
Aku terus mengelak namun akhirnya aku menceritakan juga permasalahan yang selama ini bersemayam dalam pikiranku juga batinku. Namun setelah aku menuturkan masalahku, bukannya solusi yang keluar dari mulut Dedy. Justru ia tertawa terbahak-bahak sampai mengeluarkan air mata. Aku menyesal menceritakan masalahku ini. Seandainya tahu sambutan Dedy seperti ini lebih baik aku diam saja. Dedy menyadari ketidaksukaanku atas tanggapannya. Dia buru-buru menghentikan tawanya dan meminta maaf padaku.
“Sorry Ga, bukannya aku pengen meledek kamu tapi swear cerita kamu tu lucu banget tauk! Masa cuma gara-gara kotoran angsa kalian jadi musuhan? Childish banget nggak sih!” Serunya.
Aku berusaha untuk mencerna ucapannya.
“Bagus-bagus, sekarang gorila udah jadi raja dan dengan seenaknya menertawakan aib yang telah lama kupendam tapi bener juga ya kata gorila bawel ini, apa yang kami lakukan itu benar-benar kekanakan terutama aku, aduh aku jadi nyesal banget.” Batinku berkata.
“Lalu, aku harus gimana donk Ded?” Tanyaku.
“Ya kamu cepet aja datangin Juni, kita udah kelas tiga lho... kalo ditunda-tunda terus kapan lagi kalian akan ketemu? Lagian kamu kan berencana kuliah di Surabaya bisa nggak ketemu untuk waktu yang lama deh.” Saran Dedy yang kutanggapi dengan anggukan kepala.

Rumah Juni hanya tinggal beberapa langkah dari tempatku berada. Aku telah memutuskan untuk meminta maaf lebih dulu. Namun ada sedikit keraguan dalam hatiku, aku takut apabila ternyata Juni masih belum membuka pintu hatinya untuk memaafkanku. Aku sedikit ragu. Rasanya ingin kembali meraih motorku dan kembali ke rumah. Tapi ada suara yang berbisik di telingaku.
“Ayo, apa yang membuat kamu ragu lagi? Bukankah dia sahabatmu? Segera ketuk pintu rumahnya dan ucapkanlah bahwa dia adalah sahabat terbaik yang pernah kau miliki.” Suara itu berujar.
Dengan mengucapkan basmalah aku berjalan selangkah demi selangkah melintasi halaman rumah Juni. Saat tiba di depan pintu rumahnya aku diam sesaat mencari kosakata yang bagus untuk memulai pembicaraan kami setelah setahun lebih tidak pernah berkomunikasi lagi. Kemudian aku mengetuk pintu rumahnya dengan pelan. Hening sesaat kurasakan. Tak ada jawaban dari dalam. Keringat dingin mulai menetes di keningku. Ada perasaan kecewa merayapi perasaanku. Namun ketukanku terjawab saat pintu rumah itu terbuka perlahan dan kutemukan sosok yang kunantikan berdiri di hadapanku. Ia terbelalak kaget melihat siapa yang telah hadir di rumahnya. Tak tahu harus berbuat apa dia hanya diam terpaku menatapku.
“Hai Juni,” sapaku kaku.
“Hai Aga,” balasnya dengan kikuk.
“Boleh aku masuk?” Tanyaku segera.
“Eh, tentu, silahkan masuk.” Ucapnya terbata-bata.
Juni mempersilahkan aku duduk dan minta izin untuk pergi ke dapur membuatkan minuman. Namun aku segera mencegahnya.
“Tidak usah Jun, aku tidak akan lama, ada yang ingin aku katakan,” ucapku segera.
Juni menempatkan dirinya di sebelahku.
“Apa yang ingin kamu katakan?” Tanyanya pelan.
“Aku... sebenarnya aku ke sini... karena ingin meminta maaf padamu,” ucapku. “Aku merasa bersalah atas kejadian setahun yang lalu dan ku akui itu memang salahku. Aku memang egois Jun, aku terbawa emosi saat itu dan mencoba untuk membalas perbuatanmu, namun sejujurnya aku tidak sepenuhnya merasa bersalah atas kejadian itu karena aku merasa kamulah yang memulainya, tapi aku juga tidak bisa melupakan persahabatan kita, karena kamu, Abas dan Khairil telah membawa perubahan yang berarti dalam hidupku, aku benar-benar menyesal atas apa yang telah terjadi dan sekarang aku memintamu kembali untuk menjadi sahabatku, kembalilah Jun... kumohon...”
Juni tak menjawab permintaanku. Dia hanya menatap ke dalam mataku seperti mencari-cari sebuah ketulusan. Aku tertunduk seketika dan membisu. Beberapa saat kemudian aku menengadahkan kepalaku kembali dan saat itu kulihat ada cairan bening keluar dari sudut matanya. Hal ini membuatku terkejut.
“Kenapa kamu menangis Jun? Apa kata-kataku salah?” Tanyaku segera.
“Tidak... tidak ada yang salah dengan kata-katamu... tapi... aku tidak menyangka seseorang sepertimu bisa berbuat seperti ini... ternyata kamu adalah teman yang baik... aku menyesal telah menyalakan api permusuhan diantara kita”
Tiba-tiba Juni memelukku dengan hangat sembari terisak. Mataku mulai berkaca-kaca tapi aku berusaha membendungnya saat teringat suatu nasihat yang mungkin telah ada sejak zaman phitecantrophus erectus, bahwa hal yang paling memalukan bagi laki-laki adalah menangis.
Dalam pelukan Juni aku membisikkan sesuatu.
“Maafkan aku... kecoak bengis.”
“Sama-sama amoeba.” Balasnya dan derai tawa kami pun mengawali kembalinya persahabatan kami.
*THE END*

Bandung, 11 Maret 2006
Thanks to my husband for your ideas.

2 orang ngomentarin:

Igrir 4:01 AM  

Wah..... keren juga teh! wis!!!!!! gimana sih carabya bikin cerpen kayak gituh????

Anonymous,  11:35 PM  

hebat ya..gayanya bhsnya sederhana teratur dan rapi..hanya dari sebuah ke jadian kecil bisa diolah menjadi sebuah cerpen yang menarik...salut!! boleh tau tips2nya ngga hehe

Post a Comment

Yo...silahkan kasih commentnya...
Kamu juga bisa menambah emoticon kawan! cukup ketikkan kode emoticon pada daftar di atas

Picture

Picture

About This Blog

  © Blogger template Simple n' Sweet by Ourblogtemplates.com 2009

Back to TOP