Search This Blog

My EXPERIENCE

>> 4.25.2006


TRAGEDI SAMPIT BERDARAH
Dita Aditya Putri

Sedih rasanya harus menguak kisah lama apalagi jika kisah itu begitu memilukan hati. Walaupun diri ini tidak menjadi korban, tapi… sudah cukup tragedi ini menjadi tragedi pertama dan terakhir dalam hidupku. Cerita berawal di Minggu pagi yang cerah tepatnya tanggal 18 Februari 2001, aku dan keluargaku pergi bersama dalam satu mobil. Seperti biasa, bapak mengemudikan mobil dengan kecepatan sedang. Sesekali beliau mengeluarkan joke-joke untuk membuat suasana lebih menyenangkan. Tujuan perjalanan kami adalah Taman Kota. Tempat di mana kami biasa melaksanakan ritual mingguan kami, yaitu jogging. Sebenarnya aku tidak begitu menyukai jogging tapi tak apalah daripada aku ditinggal sendiri di rumah. Namun ternyata Allah berkehendak lain.
Saat mobil bapak berbelok ke jalan Tjilik Riwut, sekelompok orang dengan wajah yang cukup menyeramkan berdiri di sepanjang jalan tersebut. Yang membuat kami cemas saat melihat tangan mereka menggenggam senjata tajam khas etnis M yaitu celurit. Spontan aku bertanya ada apa gerangan, tidak biasanya para pemuda dari etnis ini berkumpul di jalan Tjilik Riwut. Bapakku masih saja bisa bersikap tenang dan berkata bahwa para pemuda itu ingin melaksanakan kerja bakti sehingga mereka membawa celurit. Apa yang dikatakan bapak itu cukup masuk di akal. Karena pada umumnya masyarakat di daerahku lebih suka menggunakan celurit sebagai alat pemotong rumput. Namun hatiku tetap saja cemas apalagi saat mobil kami melintasi sudut jalan lainnya, kami melihat pasukan polisi nampak berjaga-jaga. Pikiranku langsung berkonotasi negatif dengan apa yang mereka lakukan. Namun lagi-lagi bapakku masih bisa bercanda, “Pejabat mau lewat kali, makanya polisi berjaga-jaga,” ujar beliau dengan santai. Tentu saja aku menjadi gemas dengan perkataan beliau.
Ternyata ibu sama cemasnya dengan diriku. Beliau meminta bapak untuk kembali ke rumah. Hal ini tidak disetujui oleh adikku yang saat itu masih berusia sembilan tahun. Ia memaksa kami untuk tetap pergi ke Taman Kota. Karena ia ingin mencoba otophed barunya. Tapi kuasa ibu lebih dominan dan akhirnya bapak memutar arah mobil menuju ke rumah.
Sesaat setelah tiba di rumah, tetangga kami langsung mengabarkan bahwa telah terjadi kerusuhan di dekat SMK-1. Hal ini membuatku terkejut sekaligus khawatir. Karena letak sekolah itu tak jauh dari kompleks perumahan kami, mungkin sekitar 200 meter saja. Menurut laporan tetanggaku itu, etnis M mulai memperlihatkan kekuasaan mereka. Mereka menyerang perumahan etnis D dan membakarnya. Tentu saja peristiwa ini memakan korban jiwa. Kami sekeluarga langsung berlari menuju tempat jemuran di lantai atas. Dari tempat itu kami bisa melihat api yang menyala-nyala dari sumber kebakaran. Perasaan takut merayapi hatiku. Tiba-tiba aku merasa hidupku akan berakhir. Namun kedua orangtuaku berusaha menenangkan diriku. “Kita berserah diri kepada Allah, Nak” begitulah perkataan mereka.
Hari itu aku hanya bisa tinggal di rumah. Setiap jalan menuju kompleks kami telah di-portal* oleh masyarakat agar kerusuhan tidak meluas ke pemukiman kami. Aku benar-benar merasa takut. Suasana kota Sampit begitu mencekam. Namun belum ada satu berita pun mengenai kejadian ini di televisi. Aku langsung mengutuki para pelaku kerusuhan ini. Apa mereka tidak memikirkan orang lain yang ada di sekitar kejadian? Aku pun cemas memikirkan ulangan caturwulan kedua yang tinggal menghitung hari.
***
Keesokan harinya aku bertemu dengan teman satu sekolahku yang bertempat tinggal di dekat lokasi kejadian. Rupanya dia mengevakuasi diri ke tempat keluarganya yang berada di kompleks perumahan kami. Syukurlah karena dia selamat. Dari ceritanya aku mendapat informasi bahwa etnis M ingin menjadikan kota Sampit ini sebagai Sampang* kedua. Wallahu a’lam bishawab.
Ternyata kejayaan etnis M dalam menumpas etnis D tidak berlangsung lama. Setelah beberapa hari kemudian penduduk pribumi yang berasal dari etnis D berdatangan ke kota Sampit. Tak tanggung-tanggung lagi mereka datang dalam jumlah besar dengan menumpangi truk. Ada yang mengatakan bahwa kepala suku mereka yang disebut ‘Panglima Burung’ langsung turun tangan dalam masalah ini. Rupanya warga pribumi Kalimantan Tengah ini sudah kehabisan rasa sabar dalam menghadapi ulah etnis lain yang merasa merajai daerah mereka. Entah bagaimana kejadiannya yang pasti setelah kedatangan warga pribumi itu keadaan menjadi terbalik. Rumah-rumah pemukiman warga etnis M diserang dan dibakar. Dan yang lebih menyeramkan lagi setiap warga etnis M yang ditemui langsung dibunuh dan kepalanya diambil. Astaghfirullah…siapa yang tidak merasa syerem mendengar kisah ini? Alhamdulillah aku belum pernah melihat langsung kejadian tersebut. Orangtuaku melarangku pergi keluar kompleks sehingga semua informasi mengenai kejadian ini hanya bisa kudapatkan dari tetanggaku yang menjadi sukarelawan mencari bahan-bahan pokok untuk memenuhi kebutuhan warga di kompleks perumahan kami. Beliau bercerita bahwa di sepanjang jalan kota Sampit banyak tergeletak tubuh-tubuh tak bernyawa yang tidak utuh, artinya kepala mereka sudah dipotong dan diambil. Menurut perkataan beliau kepala-kepala mereka dikumpulkan di satu tempat dan selanjutnya akan dibawa untuk upacara adat. Ya Allah…cobaan apa yang Kau timpakan pada daerah kami?
Sebenarnya tidak semua etnis M itu bersalah, tapi ada sebagian orang-orang yang sombong dengan kekuasaan mereka di kota Sampit sehingga merasa sudah memiliki Sampit seutuhnya, padahal mereka bukanlah penduduk pribumi. Akhirnya yang tak berdosa pun menjadi korban dalam kerusuhan berdarah ini. Menurut cerita orang-orang, etnis D yang datang untuk membalas dendam tersebut sebelumnya mengikuti ritual adat dalam bentuk membersihkan diri dengan air yang sudah dimantrai dengan mantra kekebalan sehingga membuat mereka mempunyai nafsu untuk membunuh. Kemudian pandangan mereka pun hanya tertuju pada orang-orang yang memiliki darah keturunan etnis M. Ada yang mengatakan bahwa dalam pandangan mereka kepala etnis M itu seperti kepala seekor sapi. Ya Allah! Tapi mereka memberi keringanan bagi orang-orang etnis M yang mau mengevakuasikan diri ke kantor pemerintah daerah. Mereka berjanji tidak akan menyentuh sedikit pun orang-orang etnis M yang mau meninggalkan tanah Habaring Hurung* ini.
Kejadian ini membuat aktivitas kota Sampit lumpuh total. Sekolah-sekolah pun diliburkan sampai situasi dan kondisi dinyatakan aman. Menhankam* pun langsung mengumumkan bahwa kota Sampit berada dalam siaga satu. Itu artinya keadaan di Sampit sudah benar-benar mengkhawatirkan. Aku hanya bisa merenungi kejadian ini sambil memperbanyak istighfar kepada Allah. Semoga kejadian ini tidak menelan banyak korban lagi. Tragedi ini pun hampir saja membuat aqidahku goyah. Kesyirikan mulai muncul dengan didasari rasa takut akan kematian. Tetangga-tetangga kami menyarankan agar kami mengikuti anjuran mereka untuk menghindari kejadian buruk sekaligus menandai bahwa rumah kami itu bukanlah pemukiman warga etnis M. Mereka menggantungkan sebuah mangkok yang berisi beras kuning dan sebutir telur mentah dengan kain berwarna merah, tak lupa daun sawang* diselipkan di kain tersebut. Ibuku yang mencemaskan keselamatan keluarga kami dengan terpaksa mengikuti anjuran ibu-ibu tetangga. Jadilah depan rumah kami dihiasi dengan gantungan aneh itu. Padahal Allah itu Maha Melindungi dan Mahaperkasa. Cukuplah Allah sebagai pelindung kita.
Ternyata peristiwa ini dijadikan ajang penjarahan bagi warga-warga di sekitar kompleks perumahan etnis M. Seperti halnya di dekat kompleks perumahanku. Di belakang perumahan kami tinggal beberapa keluarga etnis M yang sehari-harinya berkebun dan beternak sapi. Mereka pun menjadi korban kerusuhan ini, sehingga rumah beserta harta mereka tertinggal di sana. Warga sekitar kompleks kami beramai-ramai mengambili harta mereka termasuk hewan ternak mereka yaitu sapi. Sapi-sapi itu disembelih dan dagingnya dibagikan kepada seluruh warga kompleks perumahan. Tentu saja keluarga kami mendapat bagian juga. Namun ibuku bilang daging yang kami dapatkan ini tidak halal dimakan, karena dari hasil mengambil milik orang lain yang sudah tiada. Siapa yang tahu bahwa si pemilik tidak mengizinkan hartanya diambil dengan seenaknya. Akhirnya daging sapi itu kami berikan pada kucing untuk dimakan.
Hampir sebulan kejadian ini berlangsung, etnis pribumi masih terus melakukan sweeping* etnis M yang berusaha bersembunyi. Kerusuhan pun mulai meluas ke daerah sekitar kota Sampit termasuk ibukota provinsi, Palangkaraya. Etnis M yang berhasil menyelamatkan diri ke kantor Pemda segera dievakuasikan ke Surabaya dengan menggunakan kapal angkatan laut. Televisi mulai menayangkan kejadian ini namun tidak seperti kenyataannya. Di layar televisi kota Sampit nampak tenang dan bersih padahal di jalan-jalan itu masih penuh dengan tubuh-tubuh tak berkepala.
Satu persatu tetangga kami meninggalkan kompleks perumahan ke tempat yang lebih aman. Sehingga hanya tinggal beberapa kepala keluarga saja. Namun dengan adanya kejadian ini rasa kekeluargaan diantara tetangga semakin erat karena merasa senasib sepenanggungan. Memang segala sesuatu itu selalu ada hikmahnya.
Sebulan telah berlalu. Jalan-jalan di kota Sampit sudah tampak bersih. Entah siapa yang mau merelakan uang dan tenaganya untuk membersihkan tubuh-tubuh terbujur kaku yang memenuhi jalan. Seperti itulah yang tertulis di media massa. Ada seorang sukarelawan yang menawarkan uangnya kepada siapapun yang mau membantunya membersihkan jenazah-jenazah yang ada. Tak tanggung-tanggung satu jenazah dihargakan ratusan ribu. Jenazah-jenazah tersebut dibungkus dengan plastik jenazah dan langsung dikuburkan di kuburan massal yang telah dibuat oleh Pemda.
Akhirnya aku kembali ke sekolah. Bertemu dengan teman-temanku yang tak dapat menyembunyikan kegelisahan mereka saat menginjakkan kaki di halaman sekolah. Begitu pula aku. Aku masih merasa cemas dengan kejadian yang telah berlalu. Kelas kami yang biasanya ramai dengan ocehan anak-anak menjadi lengang dan hening. Beberapa bangku kosong ditinggalkan penghuninya yang sekarang entah berada di mana, apakah masih hidup atau tidak? Ya Allah… kami tak tahu siapa yang salah ataupun benar. Yang kami harapkan adalah kota Sampit yang aman, damai, dan tenang. Semoga mereka yang telah menjadi korban dalam tragedi ini mendapat tempat terbaik di sisi-Mu. Amien…

* di-portal : dihalangi dengan menggunakan kayu, drum, dan lain
sebagainya.
* Sampang : salah satu nama kota di Pulau Madura.
* Habaring Hurung : julukan untuk Kota Sampit, artinya Bergotong Royong.
* Menhankam : menteri pertahanan dan keamanan.
* daun sawang : seperti daun kamboja.
* sweeping : pembersihan

2 orang ngomentarin:

Anonymous,  12:37 AM  

raminya waktu kerusuhan tu kada sekolah ja...tapi pas dah sekolah kawanan bekurang... huhuhu

Anonymous,  3:04 AM  

uh.. aku sampe meringis2 baca tulisanmu dit.., serem... , tp untunglah km ngga apapa.. :), salam kenal yah.. ^^

Post a Comment

Yo...silahkan kasih commentnya...
Kamu juga bisa menambah emoticon kawan! cukup ketikkan kode emoticon pada daftar di atas

Picture

Picture

About This Blog

  © Blogger template Simple n' Sweet by Ourblogtemplates.com 2009

Back to TOP